Gugat UU IKN ke MK, Para Mahasiswa Ini Ketahuan Palsukan Tanda Tangan

Screenshot tanda tangan pengajuan judicial review UU IKN oleh mahasiswa Unila ke MK

TIMUR. Sejumlah mahasiswa mengajukan judicial review UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi mereka ketahuan MK memalsukan tanda tangan pemohon, lalu berkas pun dicabut karena bisa berujung proses pidana.

Read More

Mereka adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila), yakni M Yuhiqqul Haqqa Gunadi, Hurriyah Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, Dea Karisna, dan Nanda Trisua Hardianto. Pemalsuan diketahui setelah majelis MK jeli dengan adanya kejanggalan pada tanda tangan berkas.

“Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi. Ini Saudara tanda tangannya betul atau tanda tangan palsu ini? Kalau kita lihat, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari Para Pemohon,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang kepada para pemohon sebagaimana dilansir website MK, Jumat (15/7/2022).

Pada mulanya, para pemohon menjawab bahwa tanda tangan mereka itu asli. Bahkan mereka menegaskan tanda tangannya berupa tanda tangan digital. Menanggapi jawaban para pemohon yang terkesan menyembunyikan sesuatu, Arief Hidayat menekankan akan memproses kepada pihak kepolisian terkait tanda tangan palsu.

“Coba kita lihat di KTP Dea Karisna, tanda tangannya beda antara di KTP dan di permohonan. Gimana ini Dea Karisna? Mana Dea Karisna? Terus kemudian, tanda tangan Nanda Trisua juga beda. Ini jangan bermain-main, lho. Rafi juga beda. Kemudian tanda tangan Ackas ini beda sekali, juga Hurriyah. Ini bisa dilaporkan ke polisi, kena pidana, bermain-main di instansi yang resmi. Beda semua antara KTP dan permohonan,” ucap Arief Hidayat.

Akhirnya Hurriyah Ainaa Mardiyah menjelaskan perihal tanda tangan rekan-rekannya. Ia menyebut, dari enam pemohon, dua pemohon tidak menandatangani perbaikan permohonan tersebut. Pemohon meminta maaf kepada MK.

“Baik, Yang Mulia, izin menjawab. Sebelumnya mohon maaf, karena tidak semuanya tanda tangan sama dengan yang ada di KTP. Tanda tangan Dea Karisna dan Nanda Trisua itu memang sebenarnya sudah dengan atas kesepakatan dari yang bersangkutan. Karena yang bersangkutan tidak sedang berada bersama kami saat perbaikan permohonan tersebut. Begitu, Yang Mulia,” jelas Hurriyah.

Setelah mempertimbangkan lebih jauh, Arief Hidayat memberikan pilihan pemohon agar para pemohon mencabut permohonan.

“Kemudian, kalau Saudara akan mengajukan permohonan kembali, silakan mengajukan permohonan dengan tanda tangan yang asli, atau yang memalsukan dan yang dipalsukan kita urus ke kepolisian. Bagaimana? Yang Saudara mau? Jadi Anda itu mahasiswa harus tahu persis, apalagi mahasiswa fakultas hukum. Anda itu berhadapan dengan lembaga negara. Ini Mahkamah Konstitusi itu lembaga negara. Anda memalsukan tanda tangan, ini perbuatan yang tidak bisa ditolerir. Itu sesuatu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum,” ujar Arief Hidayat tegas.

“Bagaimana? Kalau kita bertiga sepakat ini Anda cabut, nanti Anda kalau mau mengajukan lagi, silakan mengajukan lagi,” sambung Arief Hidayat.

Para pemohon menyatakan siap mencabut permohonan. Selanjutnya panel hakim meminta para pemohon secara resmi mencabut permohonan di depan persidangan dan mengajukan surat resmi untuk mencabut permohonan.

“Baik, Yang Mulia. Maka dengan ini, kami mohon maaf atas kesalahan kami dan kelalaian kami. Kami akan mencabut permohonan kami. Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 pada Rabu 13 Juli 2022,” tandas Hurriyah selaku juru bicara para pemohon.

Tanggapan Universitas Lampung

Kepala Jurusan Hukum Tatanegara FH Unila Yusdianto mengatakan para pemohon yakni mahasiswa meminta maaf ke seluruh masyarakat Indonesia atas kegaduhan yang terjadi. Kemudian menurut dia, mereka semua tak berniat memalsukan tanda tangan.

“Mereka itu bergadangan sampai malam. Kebetulan yang dua dari luar daerah belum bisa langsung sampai, dan tidak ada maksud memalsukan kan juga dua orang tersebut mengetahui dan sudah mengiyakan kalau diyakinkan,” kata Yusdianto

Meski begitu, Yusdianto mengapresiasi keberanian enam mahasiswa yakni M Yuhiqqul Haqqa Gunadi, Hurriyah Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, Dea Karisna dan Nanda Trisua Hardianto melakukan gugatan di MK. Tak semua mahasiswa mau dan berani melakukan hal itu.

Mereka sudah diberi arahan agar benar-benar memerhatikan hal sekecil apa pun, terutama ketika membuat gugatan.

“Tadi sudah saya temui dan sampaikan beberapa kata supaya tidak down. Selain apresiasi saya pesankan tidak apa-apa dan jangan khawatir. Semua ini adalah proses belajar, karena pengetahuan itu tidak hanya didapat dari membaca tapi jg dari proses yang dilaksanakan,”ujarnya.

Selain itu, Yusdianto juga mengkritisi kepemimpinan hakim Prof Arief Hidayat yang dinilai terkesan intimidatif sehingga para mahasiswa merasa jatuh dan terpukul.

“Mahasiswa ini kan proses, mereka belajar, hebat loh mereka, langsung substansi menggugat undang-undang. Kalau saya lihat, mereka mendalilkan dan materilnya sebenarnya juga sudah bagus, apalagi waktu sidang itu kan sebenarnya ke enam-enamnya ada, walau cuma lima yang masuk daring, yang satu di luar, dalam artian, tidak ada niat memalsukan tanda tangan,” pungkasnya.

Habiburokhman: Jika RKUHP Sah, Mahasiswa Pemalsu Tanda Tangan Tak Bisa Dihukum

Anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman, menilai aksi pemalsuan tanda tangan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila) tidak bisa diperkarakan secara pidana jika RKUHP telah disahkan.

“Jika RKUHP sudah disahkan, aksi sejumlah yunior saya mahasiswa Unila yang memalsukan tanda tangan rekannya di sidang MK tidak bisa diperkarakan secara pidana,” ujar Habiburokhman dalam keterangan tertulis, Jumat (15/7/2022).

“Sebab ada ketentuan Pasal 36 soal pertanggungjawaban pidana yang menganut prinsip tiada pidana tanpa kesalahan, di mana kesengajaan harus dibuktikan dengan adanya sikap batin atau mens rea si pelaku,” tuturnya.

Habiburokhman, yang juga alumni Unila, menilai pemalsuan tidak dilakukan untuk mengambil keuntungan. Terlebih, menurutnya, tindakan pelaku telah disetujui oleh pihak yang tanda tangannya dipalsukan.

“Dalam kasus ini pemalsuan dilakukan tidak untuk mengambil keuntungan bagi si pelaku dan menurut info sudah pula disetujui oleh orang yang tanda tangannya dipalsukan,” ujar Habiburokhman.

Meski begitu, Habiburokhman mengatakan para pelaku bisa saja dikenakan hukuman. Sebab menurutnya perbuatan pelaku telah memenuhi unsur-unsur yang mengacu pada Pasal 273 KUHP.

“Namun kalau mengacu Pasal 273 KUHP yang ada saat ini perbuatan mereka bisa saja dihukum karena telah memenuhi unsur-unsur pasal secara redaksional. Kasus seperti ini banyak sekali terjadi di masa lalu, orang memalsukan tanda tangan rekannya untuk alasan praktis dan tidak mengambil keuntungan pada akhirnya harus berurusan dengan hukum,” kata Habiburokhman.

Dia meminta publik teliti membaca draf RKUHP yang telah disebarluaskan. Sebab, ia menilai banyak aturan hukum baru yang bersifat positif.

“Kami imbau agar publik betul-betul membaca draf RKUHP yang sudah kami sebar agar dapat memahami bahwa di samping beberapa gelintir pasal yang disebut kontroversial, jauh lebih banyak aturan hukum baru yang sangat progresif dan bernilai positif,” tuturnya.(detikcom)

Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>

Related posts