Saldi Isra mengatakan pemilu yang jujur dan adil sebagai bagian asas atau prinsip fundamental pemilu diatur dalam UUD 1945. Dalam Pasal 22E ayat 1 UUD 1945, mengatur asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan berkala setiap lima tahun sekali.
Namun, yang juga penting, menurut Saldi, pemilu perlu mencakup aspek kesetaraan hak antarwaga negara dan kontestasi yang bebas serta harus berada dalam level yang sama (same level of playing field).
Dengan demikian, sambungnya, persaingan yang bebas dan adil antarpeserta dimaknai sebagai suatu kontestasi yang harus dimulai dan berada pada titik awal dengan level yang sama.
“Tidak hanya itu, dalam kontestasi persaingan yang adil dan jujur dipahami pula sebagai upaya menempatkan hak pilih warga negara sebagai hak konstitusional yang harus dihormati secara setara tanpa adanya sikap dan tindakan curang di dalamnya.”
Akan tetapi menurut Saldi Isra, asas jujur dan adil tidak bisa berhenti pada batas keadilan prosedural semata.
“Jujur dan adil dalam norma konstitusi tersebut menghendaki sebuah keadilan substantif.”
“Bilamana hanya sebatas keadilan prosedural, asas pemilu jujur dan adil dalam UUD 1945 tidak akan pernah hadir.”
Dia berargumen, pemilu di masa Orde Baru berjalan memenuhi segala prosedural yang ada, namun secara empirik pemilu Orde Baru tetap dinilai curang karena secara substansial pelaksanaan pemilunya berjalan dengan tidak adil – baik karena faktor pemihakan pemerintah pada salah satu kontestan pemilu, maupun faktor praktik penyelenggaraan pemilu yang tidak memberi ruang kontestasi yang adil bagi semua kontestan pemilu.
Hakim Saldi Isra juga menyinggung bahwa sejak memutus perkara perselisihan tentang hasil pemilu, MK tidak hanya sebatas pada angka-angka statistik semata. Apabila MK “dipasung dan dibatasi” untuk menilai atau memeriksa angka semata, kata dia, maka derajat amanah konstitusi dalam menjaga nilai-nilai konstitusi direndahkan.
Jika hal itu yang dilakukan, maka upaya mewujudkan pemilu yang berintegritas tidak ubahnya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami, katanya.
Dia kemudian mengatakan setidaknya ada 2 hal yang membuatnya mengambil dissenting opinion. Pertama, terkait mengenai penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dianggap menjadi alat untuk memenangkan salah satu peserta pemilu presiden dan wakil presiden.
Kedua, keterlibatan aparat negara, pejabat kepala daerah atau penyelenggara di sejumlah daerah.
Dalam permohonan Anies-Muhaimin, sambungnya, mengungkap fakta dan kejadian tertentu secara spesifik, yaitu dukungan yang diberikan Presiden terhadap pihak terkait, pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2.
Dukungan itu dilakukan dengan cara mengalokasikan anggaran negara tertentu dan diwujudkan melalui pelaksanaan program pemerintah berupa penyaluran bansos.
Ditambah oleh pemohon, ujarnya, salah satu mekanisme penyaluran dana bansos dilakukan atau dikemas beriringan dengan kunjungan kerja Presiden ke beberapa daerah.
“Dalam hal ini orang yang memegang jabatan tertinggi dapat saja berdalih bahwa percepatan program yang dilakukannya adalah dalam rangka menyelesaikan program pemerintahan yang akan habis masa jabatannya.”
“Namun, program dimaksud dapat digunakannya sebagai kamuflase.” katanya.
“Sementara itu merujuk fakta dalam persidengan menteri yang terkait langsung dengan tugas tersebut, Menteri Sosial yang seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap pemberian bansos, menyampaikan bahwa tidak pernah terlibat atau dilibatkan dalam pemberian atau penyaluran bansos secara langsung di lapangan,” kata Saldi.
Selain itu, diperoleh pula fakta dalam persidangan bahwa terdapat sejumlah menteri aktif yang membagikan bansis kepada masyarakat, terutama selama periode kampanye.
Kunjungan ke masyarakat itu, ungkap Saldi, hampir selalu menyampaikan “bersayap” yang dapat dimaknai sebagai bentuk dukungan atau kampanye terselubung bagi paslon tertentu.
Berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta itu, pemnagian bansos atau nama lainnya untuk kepentingan elektoral menjadi tidak mungkin untuk dinafikan sama sekali.
Adapun soal keterlibatan aparat negara, Saldi Isra merujuk pada pejabat kepala daerah dan pengerahan kepala desa yang dinilai memihak kepada salah satu paslon.
Dia merujuk temuan Bawaslu terkait masalah netralitas pejabat kepala dearah dan pengerahan kepala desa yang terjadi antara lain di Sumatra Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Menurutnya, bentuk ketidaknetralan pejabat kepala daerah di antaranya berupa pengerahan ASN, pengalokasian sebagian dana desa sebagai dana kampanye, ajakan terbuka untuk memilih pasangan calon yang punya komitmen jelas untuk kelanjutan IKN, dan pembagian bansos.
Itu semua, menurut Saldi, mengarah atau identik dengan identitas paslon tertentu. Berbagai bentuk ketidaknetralan tersebut telah dilaporkan ke Bawaslu namun menurut bukti yang diajuka dianggap Bawaslu tidak memenuhi syarat.
Cara Bawaslu itu, ujar Saldi, bisa dipandang bahwa Bawaslu menghindar untuk memeriksa substansi laporan.
“Meskipun demikian saya berkeyakinan bahwa telah terjadi ketidaknetralan sebagian pejabat kepala daerah termasuk perangkat daerah yang menyebabkan pemilu tidak berlangsung secara jujur dan adil. Semua ini bermuara pada tidak terselenggaranya pemilu yang berintegritas.”
“Dengan demikian, dalil pemohon beralasan menurut hukum.”
“Oleh karena itu demi menjaga integritas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil, maka seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah sebagaimana disebut dalam pertimbangan hukum di atas,” kata Saldi.
Dissenting Opinion Hakim Arief Hidayat
Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>