Tri Maharani, Dokter Pakar Bisa Ular Pertama di Indonesia

TIMUR. Seorang alumnus Australia Dr Tri Maharani, dedikasikan hidupnya untuk menangani korban gigitan ular berbisa di Indonesia. Dia adalah dokter ahli bisa ular pertama di Indonesia. Setiap tahun dilaporkan adanya 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh Indonesia.

Ia mendonasikan hampir seluruh gajinya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk membeli serum anti bisa ular yang kemudian didonasikan untuk menyelamatkan nyawa pasien gigitan ular berbisa di berbagai rumah sakit di Indonesia.

Read More

Kasus kematian akibat gigitan ular berbisa kembali menjadi sorotan menyusul tewasnya seorang remaja di Depok, Jawa Barat setelah terkena gigitan ular King Cobra peliharaannya sendiri beberapa waktu lalu.

Menurut Tri Maharani, kematian ini menjadi kasus kematian akibat gigitan ular ke-51 yang terjadi sepanjang tahun 2019 ini dan kasus kematian oleh gigitan ular jenis King Cobra ke-15.

Bagi Tri Maharani kejadian ini menekankan penanganan kasus gigitan ular berbisa di masyarakat masih banyak yang keliru.

“Kebanyakan masyarakat Indonesia tidak tahu apa yang harus dilakukan kalau digigit ular. Kita disesatkan dengan informasi kalau gigitan ular itu diikat, disedot, dikeluarkan darah, padahal bisa ular tidak lewat pembuluh darah tapi bisa lewat kelenjar getah bening.” ujar Tri Maharani melansir Tempo.co

“Sudah waktunya juga pemeliharaan satwa dan atraksi satwa berbisa di masyarakat itu ditertibkan, harus ada UU-nya kalau tidak mau berapa banyak lagi orang mari karena gigitan ular peliharaan. Kasusnya sudah banyak korbannya masih muda-muda lagi, mereka mati karena kesembronoan.” tuturnya.

Dr Tri Maharani tercatat sebagai satu-satunya dokter pakar bisa ular di Indonesia. Tidak hanya di dalam negeri, profesi ini juga cukup langka di dunia, diperkirakan hanya ada 53 dokter saja di seluruh dunia yang menyandang title tersebut.

Berlatar belakang dokter spesialis kedokteran kegawatdaruratan, tahun 2017 ia mengikuti program fellowship di bidang toksinologi di Universitas Adelaide, Australia Selatan yakni bidang ilmu yang mengenai berbagai macam racun dari mahluk hidup.

Kepakarannya di bidang penanganan bisa ular dan gigitan hewan berbahaya ini juga yang membuatnya menjadi satu-satunya dokter dari Indonesia, yang ikut dalam tim pembuat pedoman penanganan gigitan ular berbisa dari WHO yang dirilis bulan Mei 2019.

Tri Maharani selama ini banyak melakukan edukasi penanganan gigitan ular berbisa tidak hanya kepada kalangan masyarakat umum, tapi juga kalangan tenaga medis.

“Training untuk dokter dan perawat itu masih perlu juga, karena di kurikulum kedokteran pembahasan tentang gigitan hewan berbisa tidak cuma ular, tapi seluruh hewan berbisa. Itu hanya 1 lembar dan tidak dibahas secara mendalam,” kata dia.

“Padahal di negara lain sudah ada dan pedoman penangannya juga sudah dirilis oleh WHO,” lanjutnya dalam percakapan dengan Iffah Nur Arifah dari ABC Indonesia.

Kekosongan mekanisme penanganan gigitan ular berbisa di fasilitas kesehatan ini menurut Tri Maharini adalah dampak dari belum masuknya kasus gigitan ular berbisa dalam program prioritas pemerintah.

“Di Indonesia, di kementerian kesehatan itu tidak ada program tentang gigitan ular. Padahal gigitan ular ini kasus yang mengancam nyawa orang. Karena kalau digigit ular berbisa itu, periode jendela hidup manusia itu hanya hitungan detik sampai hari saja, jika tidak ditangani orang bisa mati atau mengalami kecacatan,” terang dia.

Menurut Tri Maharani kasus gigitan ular berbisa sudah waktunya diprioritaskan pemerintah mengingat potensi gigitan reptil ini sangat tinggi. Pantauan organisasi yang diinisiasi Tri Maharani yakni Remote Envenomation Consultancy Services (RECS) mencatat tren kenaikan kasus gigitan ular berbisa.

Setiap tahun RECS menerima 1000-2000 laporan gigitan ular dari seluruh Indonesia. Lima tahun terakhir rata-rata terjadi 135 ribu kasus gigitan ular berbisa setiap tahun.

Namun Tri Maharani meyakini kasus gigitan yang tidak dilaporkan jauh lebih besar. Ironisnya hal ini tidak diimbangi dengan ketersediaan Serum Anti Bisa Ular (SABU). Indonesia baru memproduksi SABU untuk 3 jenis spesies ular saja yakni ular kobra, ular tanah dan ular wuling.

Sementara untuk serum anti bisa ular jenis lainnya masih diimpor seperti dari Thailand dan Australia. Ketersediannya juga masih sangat terbatas, tidak semua rumah sakit menyimpan anti venom.

Beli Venom dari Kocek Sendiri

Sebagai pakar penanganan gigitan ular berbisa, Tri Maharani mengaku hampir setiap hari menerima panggilan telpon mengenai pasien gigitan ular berbisa dari berbagai kota.

Dan sering kali Tri Maharani sering kali harus merogoh kocek sendiri untuk membeli serum anti bisa ular untuk menyelamatkan pasien gigitan ular berbisa di berbagai daerah.

“Sejak 2014 saya membeli venom dari kantong sendiri, hampir 90 persen gaji saya sebagai PNS itu saya belikan anti venom. Setiap bulan beli anti venom, kalau habis saya ke Bangkok beli anti venom atau kalau butuh anti venom ular Papua saya akan telpon ke Australia,” ucap dia.

“Saya urus sendiri anti venom itu ke BPOM dan harganya mahal, anti venom buatan Indonesia sekitar Rp 1 juta per vial, tapi anti venom ular Papua itu harganya 80 juta satu vial. Saya beli juga, untungnya semua pabrik anti venom Australia itu ada guru saya semua, jadi mereka kasihan sama saya dan saya dapat diskon. Di Thailand juga gitu saya dapat diskon,” terang dia.

Semua anti venom itu dikasih gratis, bahkan kadang diantar sendiri oleh Tri Maharani dengan penanganan langsung pasiennya di berbagai kota di Indonesia. Baru-baru ini, ia ke RS Sorong Papua mengantar anti venom yang harganya Rp80 juta, karena sudah 5 tahun warga setempat tidak punya vial.

Poison Center dan Riset Ular Berbisa

Berkaca dari pengalamannya, sebagai langkah awal penanganan kasus gigitan ular yang lebih baik, Tri Maharani menyarankan pemerintah membangun ‘Poison Center’.

“Jadi saya ingin sekali di Indonesia ada poison center, jadi kalau negara ini tidak mau mengeluarkan anggaran uang untuk membeli anti venom dalam jumlah banyak, sediakan saja semampunya dan simpan di poison center, kalau ada korban tinggal dikirimkan.” lanjutnya.

Namun menurutnya Indonesia memiliki kesempatan sangat luas untuk mengembangkan produksi serum anti bisa ular berbisa sendiri. Hal itu tidak terlepas dari kayanya keragaman spesies ular di nusantara. Diperkirakan di Indonesia sedikitnya terdapat 76 spesies ular berbisa dengan tingkat venom yang sangat kuat.

Tri Maharani mengatakan Indonesia perlu mencontoh Australia yang memiliki mekanisme dan riset yang baik mengenai gigitan ular berbisa sehingga bisa memproduksi serum anti gigitan ular yang bernilai tinggi.

“Kalau pemerintah mau mendorong program ini, Indonesia akan sangat maju di bidang toksinologi dan kalau itu diangkat kita akan bagus sekali untuk bidang riset toksinologi ular. Karena kita punya banyak jenis ular berbisa. orang Australia mau riset king cobra, mereka gak punya ular itu, mereka harus beli dari orang Indonesia,” katanya.

“Di Indonesia harga ular itu sangat tidak berharga. Di pasar biasa ular dijual sangat murah.”

“Cuma Rp 14 ribu satu kilo, padahal kalau ular itu dihargai, dan dijadikan bahan riset untuk menghasilkan anti venom, dengan cara memanen bisanya saja, itu satu vial saja harganya bisa Rp 87 juta seperti anti venom yang dibuat oleh Australia. Isinya cuma 50 ml untuk satu pasien.” kata menutup perbincangan dengan ABC. (*)

Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>

Related posts