Mengenal Likuefaksi, Fenomena yang Sempat Viral di Kaltara

TIMUR. Video longsor aliran di daerah pertambangan di di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara (Kaltara) sempat menghebohkan dunia maya. Sebelumnya, netizen menduga ini adalah fenomena pencairan tanah atau likuefaksi seperti sempat terjadi pascagempa di Palu, Sulawesi Tengah.

Read More

Namun, ilmuwan LIPI membantah hal tersebut sebagai likuefaksi. Menurut peneliti bidang Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adrin Tohari menyebut longsoran ini berbeda dengan likuefaksi yang terjadi di Palu. Perbedaannya terletak dari pemicu longsor aliran. Longsor aliran di Palu disebabkan oleh gempa, sementara longsor di daerah tambang akibat hujan atau ulah manusia.

Perbedaan lainnya dari jenis tanah yang terkena longsoran. Pada longsor tambang yang terjadi di Kaltara, terjadi pada tanah lapisan lempung lunak akibat tinggi muka air tanah. Sementara pada likuefaksi, lapisan pasir yang lepas akibat kondisi jenuh air.

“Perbedaaan dengan likuifaksi yang terjadi di Palu adalah pemicunya. Likuifaksi dipicu oleh gempa, sedangkan longsoran ditambang dipicu oleh kejenuhan lapisan tanah oleh hujan atau karena kesalahan pemotongan lereng. Untuk kasus di Kaltara ini perlu di cek apakah kejadian kelongsoran itu setelah hujan atau tidak,” kata Adrin melansir CNNIndonesia.com.

Lebih lanjut, Imam Achmad Sadisun dari Kelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB menjelaskan fenomena likuefaksi secara sederhana dapat diartikan sebagai perubahan material yang padat yang diakibatkan gempa bumi. Material dalam hal ini berupa endapan sedimen atau tanah sedimen. Material tersebut seakan berubah karakternya seperti cairan (liquid).

“Karena adanya gempa bumi yang umumnya menghasilkan gaya guncangan yang sangat kuat dan tiba-tiba, tekanan air pori tersebut naik seketika, hingga terkadang melebihi kekuatan gesek tanah tersebut. Proses itulah yang menyebabkan likuefaksi terbentuk dan material pasir penyusun tanah menjadi seakan melayang di antara air,” kata Imam kepada seperti yang dikutip dari situs ITB, Kamis (31/10).

Lebih lanjut ia menjelaskan, jika posisi tanah ini berada di suatu kemiringan maka tanah dapat ‘bergerak’ menuju bagian bawah lereng secara gravitasional. Pergerakan ini seakan tanah dapat ‘berjalan’ dengan sendirinya. Sehingga benda yang berada di atasnya, seperti rumah, tiang listrik, pohon, dan lain sebagainya ikut terbawa.

“Secara lebih spesifik, kejadian ini disebut sebagai aliran akibat likuifaksi (flow liquefaction). Efek dari likuefaksi juga kadang-kadang berbeda,” kata Imam.

Imam mengatakan apabila kekuatan gesek tanahnya belum terlampaui, dan tekanan air pori yang naik cukup kuat, hanya mengakibatkan retakan-retakan di tanah tersebut. Dari retakan-retakan itu akan muncul air yang membawa material pasir. Dia menjelaskan likuefaksi umumnya terjadi pada gempa di atas 5 SR dengan kedalaman sumber gempanya termasuk dalam kategori dangkal. Material yang terlikuefaksi umumnya berada pada kedalaman sekitar 20 meteran.

Likuefaksi hanya terjadi di bawah muka air tanah setempat, tidak terjadi di atas muka air tanah. Ia kemudian menjelaskan sesungguhnya potensi likuefaksi bisa dikurangi. Namun kendala dari solusi-solusi untuk mengurangi likuefaksi tersebut membutuhkan biaya yang tinggi

“Secara rekayasa, potensi likuefaksi bisa dikurangi, yaitu dengan membuat material tanah menjadi lebih padat atau keras dengan cara pencampuran dengan semen (soil mixing), injeksi semen (grouting), dengan membuat pondasi dalam sampai tanah keras, dan sebagainya,” kata Imam.

Saat likuefaksi terjadi ketika gempa Palu-Donggala, Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo sempat mengatakan likuefaksi terjadi karena tanah berubah menjadi lumpur seperti cairan dan kehilangan kekuatan. Sutopo mengatakan ada dua teori yang memungkinkan fenomena langka ini terjadi.

Pertama diakibatkan oleh guncangan gempa yang menyebabkan lapisan-lapisan tanah bawah yang awalnya padat, kemudian bercampur dengan air di bawah tanah, kemudian memuncratkan lumpur.

“Kekuatannya berkurang, yang akhirnya menyebabkan bangunan yang ada di atasnya, pasti hancur diguncang gempa dengan posisi tanah di bawahnya gembur, amplifikasinya semakin besar, sehingga patah strukturnya,” kata Sutopo.

Di masa lalu, munculnya lumpur Lapindo bisa jadi terjadi bukan hanya karena dibor tetapi juga karena gempa Jogja. Sutopo mengatakan material yang menghanyutkan rumah di Petobo sama hitamnya dengan Lapindo. Teori kedua adalah karena dulunya wilayah itu adalah lumpur purba yang terjebak di bawah permukaan tanah. Kemudian ketika gempa terjadi dan timbul retakan, maka lumpur itu keluar.(CNN Indonesia)

Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>

Related posts