Kisah Santi Perjuangkan Ganja Medis untuk Sang Putri yang Cerebral Palsy

Santi Warastuti (43) bersama anaknya, Pika, dan suaminya, Sunarta, berjalan dari CFD ke Mahkamah Konstitusi (MK), Minggu (26/6/2022), perjuangkan agar ganja dilegalkan untuk pengobatan anaknya.(Dok. SANTI WARASTUTI/Kompas.com)

TIMUR. “Saya seorang ibu yang ingin mengusahakan yang terbaik untuk anak saya” Inilah kata-kata yang terlontar dari Santi Warastuti, seorang ibu yang memiliki anak penderita cerebral palsy. Sosok Santi menjadi sorotan setelah menyuarakan legalisasi ganja medis di car free day (CFD) Bundaran HI Jakarta pada Minggu (26/6/2022).

Read More

Di CFD, Santi datang bersama suami dan tampak pula buah hatinya Pika (14) yang berada di kereta dorong. Santi terlihat memegang satu papan dengan bertuliskan “TOLONG ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS”.

Santi menceritakan, awalnya ia tinggal dan bekerja di Bali. Kemudian, saat hamil, Santi bersama suami memutuskan untuk pulang ke Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Jadi saya hamil posisi 7 bulan, saya pulang ke Yogya, karena cuma berdua sama suami (di Bali) tidak ada saudara. Ini kan lahiran anak pertama agak ribet tidak ada yang membantu, ya saya pulang ke Yogya,” ujar Santi, melansir Kompas.com.

Pada 25 September 2008, Santi melahirkan di Yogyakarta. Hadirnya sang buah hati membahagiakan bagi Santi dan suami. “Pika lahir dengan operasi caesar, dengan berat 3,4,” ucapnya.

Setelah Pika umur dua bulan, Santi dan suami membawa ke Bali. Sebab Santi dan suami masih harus bekerja di Bali. Pika kecil tumbuh dengan sehat. Buah hati Santi dan suaminya ini pun menjadi anak yang periang dan beraktivitas seperti anak pada umumnya.

Pada saat akan lulus Taman Kanak-kanak (TK), Pika mulai muntah-muntah dan lemas. Pihak sekolah kemudian menghubungi Santi untuk menjemput Pika agar istirahat di rumah.

“Saya ditelepon suruh membawa pulang, nanti istirahat besok sudah segar lagi, begitu beberapa kali. Kemudian muncul kejang,” ungkapnya.

Mengetahui kondisi Pika, Santi kemudian membawa buah hatinya ke rumah sakit untuk periksa. Awalnya, dokter memvonis Pika epilepsi. “Karena kejang tanpa demam (dokter menyampaikan) epilepsi begitu, kemudian diperiksa lanjutan. Mulai saat itu Pika minum obat kejang,” urainya.

Santi mengungkapkan, kondisi Pika saat itu masih bagus, masih bisa berjalan. Namun seiring berjalanya waktu Pika mulai kesulitan untuk berjalan dan kesulitan memegang sesuatu.

“Jadi motorik kasarnya, motorik halusnya mulai terganggu karena kejang pun masih ada kan. Saat itu saya sudah melakukan terapi juga waktu di Bali,” ungkapnya.

Santi yang merasa kesulitan mencari lokasi terapi di Bali pada tahun 2015 memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Santi lantas kembali ke Yogyakarta bersama buah hatinya. Sedangkan suaminya tetap berada di Bali untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.

“Suami tetap di Bali karena kita tetap perlu dapur tetap ngebul. Jadi suami di Bali, saya dan Pika di Yogya, kita melanjutkan terapi di sini di rumah sakit,” ucapnya.

Selama di Yogyakarta, Pika harus keluar masuk rumah sakit karena kejang masih sering muncul. Seiring berjalanya waktu, kondisi Pika pun mulai menurun. “Lama-lama kondisinya menurun, menurun. Kondisi seperti itu disebut oleh dokter cerebral palsy,” tuturnya.

Pika saat ini berusia 14 tahun. Kondisi motoriknya yang terganggu membuat tidak lagi bisa melakukan apapun sehingga tergantung kepada kedua orang tuanya. Santi mengaku saat itu tidak terlalu memikirkan tentang diagnosa dokter.

Sebagai seorang Ibu, Santi lebih fokus mengupayakan kesembuhan sang buah hati. “Waktu itu awam (tentang cerebral palsy), tetapi saat itu saya tidak terlalu memikirkan diagnosa dokter apa. Yang saya konsenkan hanya oke, Pika minum obat, tapi juga tetap terapi,” bebernya.

Berbagai upaya dilakukan oleh Santi dan suaminya demi buah hatinya. Selain medis, Santi juga mencoba ke berbagai pengobatan tradisional. “Wah kalau orang bilang, kayak orang mau promil itu, coba ke sana, coba ke sini, coba makan ini, coba makan itu. Saya juga seperti itu, tapi saya tetap juga ke medis tidak terus menghentikan medis. Pijat ke sana, pijat ke situ, ditipu orang ya perjalanannya seperti itu,” imbuhnya.

Menemukan Secercah Harapan

Santi mengetahui informasi ganja bisa dimanfaatkan untuk medis saat masih bekerja di Bali. Pada waktu itu, atasannya yang merupakan warga negara asing memberikan informasi tersebut.

Di negara atasannya tersebut, ganja medis sudah legal. “Atasan saya itu orang asing, jadi beliau kan sering keluar masuk Indonesia. Waktu posisi beliau di luar Indonesia, beliau mengirimkan foto botol kepada saya. Beliau bilang, Santi ini kalau di negaraku dipakai untuk obat kejang,” ujar Santi.

Santi kemudian melihat foto yang dikirimkan oleh atasannya. Di foto botol tersebut terdapat tulisan cannabis. Mengetahui di Indonesia belum legal, Santi menolak tawaran atasannya yang akan membawakan minyak ganja tersebut.

“Di sini kan belum legal, saya tidak mau,” tegasnya.

Saat berada di Yogyakarta, Santi bertemu dengan Dwi Pertiwi yang tidak lain adalah ibu dari almarhum Musa. Dwi Pertiwi, lanjut Santi, pernah membawa Musa ke Australia untuk terapi medis. Hasilnya kondisi Musa mengalami perkembangan yang baik.

“Musa itu kondisinya lebih berat dari pada Pika CP (cerebral palsy) nya itu tapi kondisinya ada perkembangan yang signifikan, kejangnya banyak berkurang, tidurnya yang sering begadang jadi lebih bagus tidurnya, kekakuan tubuhnya itu melemas,” tuturnya.

Santi mengetahui itu setelah bertanya kepada Dwi Pertiwi terapi yang diberikan kepada Musa. “Dikasih apa tho Bude (Dwi Pertiwi), oh terapi gini, gini. Saya kan nggak bisa dapat di sini, bukan berarti saya mengesampingkan obat medis,” tuturnya.

Santi selama ini telah melakukan usaha pengobatan bagi anaknya secara medis yang ada saat ini. Namun, setelah bertahun-tahun tidak terlihat perkembangan yang signifikan terhadap kondisi Pika.

“Saya tujuh tahun lho ngasih obat kejang itu, bukan waktu yang sebentar. Kalau saya sudah ngasih obat itu dan belum ada hasil yang signifikan, kemudian ada sedikit harapan yang bisa saya berikan, saya upayakan ya saya kejar harapan itu,” urainya.

Di sisi lain, kondisi ekonomi keluarga Santi, tidak memungkinkan untuk membawa Pika keluar negeri guna menjalani terapi ganja medis. Santi pun kemudian membaca banyak literatur dan di beberapa negara sudah dilegalkan untuk medis. Apa yang diperjuangkan Santi saat ini pun untuk keperluan medis, bukan yang lainnya.

“Jadi yang saya perjuangkan untuk medis. Kalau misalnya dilegalkan untuk proses distribusi, proses penelitian, pasti dari pihak-pihak terkait, pihak berwenang yang mempunyai kewenangan untuk itu, bukan di ranah saya. Kalau ranah saya cuma seorang ibu, yang berjuang untuk anaknya. Untuk teknis, petunjuk dan pelaksanaannya nanti kan sudah ada pihak-pihak yang berkompeten,” ungkapnya.

Santi kemudian membulatkan tekad pada November 2020 untuk memasukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) uji materi terhadap UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika. “Di awal karena Musa perkembangannya bagus, Saya kepingin juga tapi saya tidak bisa memberikan di Indonesia. Jadi kalaupun nanti bisa digunakan sebagai obat medis bukan hanya untuk anak saya, tapi untuk anak-anak (cerebral palsy) yang lain,” ucapnya.

“Apa salahnya sih yang dipakai di luar, kita pakai di sini. Ya tentu dengan pengawasan yang ketat dari aparat,” tambahnya.

Sembari menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), Santi masih terus melanjutkan pengobatan Pika secara medis yang ada saat ini. Pika mengkonsumsi tiga macam obat kejang. Namun karena Pika mengalami efek samping, maka ada obat yang oleh dokter distop sementara.

“Setiap obat itu pasti ada efek samping, dan anak saya juga mengalami. Pernah dikasih obat kejang, itu Pika konsumsi dua minggu langsung muncul ruam-ruam merah, bibir pecah-pecah, sariawan berdarah-darah gitu. Kemudian diganti obat, karena Pika konsumsi jangka panjang awal bulan kemarin muncul ruam-ruam merah di perut leher, kaki tangan kemudian oleh dokter dihentikan dulu,” urainya.

Tunggu Keputusan MK

Santi bersama suami telah dua tahun menanti, namun belum juga ada keputusan dari Mahkamah Konstitusi (MK). Tak lantas berdiam diri, Santi bersama suami dan Pika kemudian berangkat ke Jakarta agar MK agar segera memutuskan. Di Jakarta Santi datang ke car free day (CFD) Bundaran HI dengan membawa papan berwarna putih. Di papan tersebut terdapat tulisan ” TOLONG ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS”.

Aksi tersebut kemudian viral setelah penyanyi Andien Aisyah mengunggah di media sosial. Santi pun mengaku tidak menyangka apa yang dilakukanya akan menjadi viral. Sebab sebagai seorang ibu, Santi hanya ingin memberikan yang terbaik bagi buah hatinya yang menderita cerebral palsy. Rencana Santi yang hanya sebentar di Jakarta pun berubah.

“Saya tidak berencana sampai segini lama dan segini, efeknya saya tidak menyangka sampai sebesar ini, ya lumayan shock juga ya capek ya iya, tapi ya memang harus saya jalani. Kalau nggak sekarang kapan lagi, ya kok dilalah saya yang mendapatkan kesempatan ya saya gunakan dulu. Nanti teman-teman yang lain tertolong juga, terbantu juga,” ujarnya.

Selama di Jakarta, Santi sempat diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI, Kamis (30/6/2022). “Kemarin sih banyak support dari DPR dan mereka akan berusaha untuk mengawal terus untuk proses ini,” ungkapnya.

Santi memahami apa yang diperjuangkanya tidak akan mudah. Selain itu, juga akan banyak menimbulkan pro dan kontra. Namun yang terpenting bagi Santi adalah sudah berusaha semaksimal mungkin demi buah hatinya dan lebih luas bagi anak-anak lain yang juga menderita cerebral palsy.

“Saya paham tidak akan mudah, tapi yang terpenting Saya sudah berjuang, sudah berusaha. Hasilnya biar nanti Tuhan yang menentukan,” pungkasnya.(Kompas.com)

Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>

Related posts