“Aku berfikir maka aku ada”, demikianlah Rene Descartes membangunkan Eropa dari tidur panjang kegelapan peradabannya. Basis filsafat ini, menjadi ciri dasar masyarakat barat dalam berfikir dan bertindak sampai sekarang.
Implikasinya dapat kita saksikan kini. Hampir seluruh sisi kehidupan manusia di belahan dunia manapun berkiblat pada barat. Dari urusan kecantikan, gaya rambut, pilihan baju, hingga capaian ilmu pengetahuan, teknologi dan tentus saja media sosial. Maka jangan heran jika kaum cerdik pandai, miliader dan akademisi berlomba menyekolahkan anak cucunya ke belahan benua biru.
Pun demikian, cara berfikir yang bertumpu pada rasionalitas ini telah mulai diragukan dalam menjawab setiap persoalan kemanusiaan yang mendera umat manusia. Bahkan digugat karena dianggap turut bertangung jawab atas segala persoalan sosial yang timbul dalam peradaban modern. Seperti; semakin merebaknya dekadensi moral, alienasi diri sampai pada lahirnya intelektual ‘menara gading’, yang tidak bertanggung jawab atas realitas sosial yang ada di masyarakat sekitarnya.
Nietzsche bahkan berseru lantang, “ O kawan! Dengarkan dendang laguku! Lagu lama dari nalar yang kalian nyayikan tak lama lagi bakal padam.
Pemikir postmodernis paling andal seperti Michel Foucoult bahkan sampai mendeklarasikan “kematian manusia”, ia menganggap manusia telah kehilangan dirinya sebagai subyek yang berkesadaran karena didera dan dikepung oleh praktek-praktek obyektifikasi.
Sepuluh abad sebelumnya, syair yang sama dilantunkan Asy’ari—yang dengan tegas berani keluar dari Mu’tazilah–mesjid, kemudian berteriak di jalan mengajak orang-orang yang ada, untuk meninggalkan kaum Mu’tazilah yang dianggapnya telah sesat di jalan Tuhan karena menempatkan nalar dalam memahami ayat-ayat suci Al’quran.
Pemberontakan terhadap nalar yang dilakukan oleh tiga tokoh di atas, jika dilihat dalam konteks sosio-historis bisa jadi adalah sebuah kewajaran. Sebab tak dapat dipungkiri kebobrokan yang kita tuai pada jaman modern ini adalah anak kandung dari didewakannya modernitas dalam kehidupan umat manusia. Kalau bukan karena kesalahan pemahaman atas esensi nalar itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah memang demikian adanya jika nalar terlalu didewakan? Jawabnya jelas tidak, karena nalar adalah matahari. Seperti matahari yang memberikan kehidupan di dunia ini, demikian pula–adalah nalar yang memanusiakan kita. Berani menjadi manusia kata Bochenski, berarti berani memilih hidup dengan nalar. Nalar yang ditolak oleh ketiga tokoh di atas adalah nalar yang telah sampai pada taraf absolutisme.
Sementara watak nalar yang sesungguhnya adalah waspada terhadap absolutisme itu sendiri. Itulah sebabnya Pytagoras dan Plato, menyebut penyelidikannya sebagai Philosophos, yang berarti cinta pada kebijaksanaan. Plato tidak pernah mengklaim sebagai pemilik kebenaran, melainkan berendah hati untuk menyebut mereka sebagai pecinta kearifan.
Karenanya aktivitas nalar dalam kajian filosofis, sains dan agama, selama konsisten dengan karakteristiknya, tidak akan pernah mengajukan klaim kebenaran mutlak.
Persoalannya, pada tingkatan yang paling rendah, yakni beranjaknya pola fikir masyarakat dari yang mendewakan takdir dan takhyul ke tingkatan pemakaian akal dan rasionalitas dalam menjawab–menjelaskan tindakan sehari-hari masyarakat kita belumlah terjadi.
Fakta ini bahkan sangat telanjang, kita dapati di daerah-daerah pedalaman. Lembaga pendidikan formal sebagai “avant garde”, pengusung rasionalitas, dalam prakteknya– lebih menjadikan siswanya sebagai robot-robot penghapal rumus atau teori-teori, ketimbang memerdekakan siswanya dalam pemikiran.
Sehingga rasionalitas yang mensyaratkan kemerdekaan berfikir nyaris tak pernah dapat bersemi. Jika dalam sejarah peradaban Eropa dan Islam, penolakan terhadap nalar karena ‘buahnya’, yang dianggap memerosotkan kemanusiaan manusia, maka dalam masyarakat bisa jadi penolakan terhadap nalar karena masih melekatnya kepercayaan mistis dalam masyarakat kita. Mungkin.!
Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>