Golput, Dulu dan Sekarang

Arief Budiman, Deklarator Golput

Read More

Gonjang ganjing tragedi politik pada 30 September 1965 berujung pada digantinya Presiden Soekarno oleh Letjen Soeharto. Selama empat tahun Soeharto memegang tampuk pimpinan tertinggi di negeri ini. Pada 5 Juli 1971, Pemilu pertama setelah tragedi berdarah itu digelar. Pemilu ini didengungkan sebagai upaya untuk menciptakan kehidupan yang demokratis setelah rangkaian peristiwa politik yang membuat negara terus berada dalam kondisi tak stabil. Sayangnya, upaya Soeharto untuk mempertahankan kekuasaan begitu kental, sehingga upaya melegitimasi kekuasaan melalui Pemilu lebih kentara.

Gelaran politik besar itu akan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tingkat provinsi dan kabupaten. Saat itu ada 10 partai politik yang bertarung, dan hanya delapan parpol yang meraih kursi. Menyambut Pemilu 1971 muncul dua parpol baru, yaitu Golongan Karya dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Meski baru, tapi kemenangan Golkar sudah terprediksi. Sebab Soeharto mengerahkan berbagai elemen untuk menguasai wilayah pemilihan. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Persatuan Guru Republik Indonesia atau PGRI, dan pegawai negeri sipil menjadi cara Soeharto memobilisasi massa. Struktur panitia Pemilu yang didominasi para pejabat pemerintahan semakin menguatkan kecurigaan bahwa pemenang Pemilu sudah ketahuan sebelum Pemilu dilaksanakan.

Arief Budiman alias Soe Hok Djin, kakak kandung demonstran dan aktivis politik Soe Hok Gie, bersama teman-teman aktivis tahun ’66 membaca upaya itu. Ia lalu menggalang mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu tersebut. Tanggal 3 Juni 1971 di gedung Balai Budaya Jakarta, Arief Budiman bersama Julius Usman, Imam Waluyo, Husin Umar dan Asmara Nababan mendeklarasikan diri sebagai kelompok yang tidak akan memilih dalam Pemilu.

Demo Mendukung Golput

Mereka mengampanyekan cara untuk bersikap atas Pemilu yang pemenangnya sudah ketahuan itu. Caranya adalah dengan mencoblos bagian putih dari kertas suara. Imam Waluyo lalu memberi nama gerakan ini sebagai golongan putih karena hanya mencoblos bagian putih dari kertas suara. Dari situ nama golput jadi populer. Gerakan ini bergulir menjadi sebuah gerakan moral yang dilakukan dengan penuh kesadaran.

Kelompok ini tidak memboikot Pemilu. Mereka justru meminta masyarakat aktif mendatangi tempat-tempat pemilihan saat hari pemungutan suara. Tapi bukan untuk memilih kontestan yang ada, melainkan mencoblos warna putih yang kosong tanpa nama dan gambar. Masyarakat dipersilakan menggunakan haknya dengan keyakinan untuk memilih, termasuk memilih warna putih di lembar kertas suara.

Deklarasi mereka menciptakan keresahan. Pejabat publik mengomentari sinis aksi kelompok muda itu. Bahkan Menteri Luar Negeri masa itu, Adam Malik, menyebut kelompok Arief Budiman dan kawan kawan sebagai ‘golongan setan.’

Selama masa pemerintahan Orde Baru, di mana Golkar menjadi partai raksasa tanpa tanding, dan Soeharto menjadi presiden yang tak pernah tergantikan, gerakan moral ini menjadi pilihan untuk menyatakan sikap, bahkan perlawanan, karena pemilihan yang digelar tak akan mengubah apapun. Golkar dengan guritanya yakni ABRI dan PNS dipastikan akan tetap menjadi partai terbesar, dan Soeharto akan tetap menjadi presiden. Dan semua terbukti sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa.

Padahal, meski sikap tak memilih itu digaungkan dan menimbulkan kecemasan, faktanya pada Pemilu 1971 angka golput sangat rendah karena tak mencapai 10 persen.

Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>

Related posts