Kalau mau, dengan mudah Kakek Dawat bisa menggagalkan rencana mereka dari awal. Kakek Dawat cukup sekali berucap; datanglah angin—maka datanglah angin sebesar-besar gunung bergelombang menyapu tempat itu. Menerbangkan truk-truk dan dozer-dozer itu ke angkasa. Datanglah hujan—maka datanglah air menenggelamkan lembah di antara dua bukit yang sudah terkelupas itu.
Percayalah. Kakek berambut putih gondrong itu dengan mudah bisa melakukannya. Tapi Kakek Dawat tak seperti umumnya orang.
Salah menurut penilaian orang-orang, baik menurut penilaian Kakek Dawat. Ketika dihina justru ia merasa dimuliakan. Ia bisa terlihat marah tapi sesungguhnya riang. Ia bisa terlihat riang tapi sesungguhnya sedih.
Tak ada seorang pun yang menyadari kedatangan Kakek Dawat ke Long Langap—sebuah lembah di antara dua bukit kecil yang barus saja selesai dikupas. Dua bukit kecil itu sekarang menyerupai dua punggung kerbau raksasa. Warna hitam bukit itu adalah warna bebatuan yang tak lama lagi (setelah diresmikan) bakal diledakan.
Lihatlah, pada jalan yang berkelok itu puluhan bahkan mungkin ratusan truk telah bersiap. Lihat juga di kaki bukit itu puluhan dozer dengan congor bajanya siap mengeruk semua bebatuan itu.
Orang-orang baru menyadari kehadiran Kakek Dawat ketika kuping mereka mendengar siul dan tawa nyaring ke luar dari mulut Kakek Dawat. Orang-orang kampunglah yang pertama kali pucat menyaksikan Kakek Dawat berdiri di atas punggung kerbau itu. Berkali Kakek Dawat bersiul lalu mengekeh seperti sedang menonton seorang badut beraksi di atas panggung.
“Ampunkan kami Kakek. Kami hanya bekerja. Kami hanya diperintah. Supaya kami dan keluarga bisa makan,” seseorang yang berdiri di belakang Kakek Dawat langsung bersedeku mengacung-acungkan kedua telapak tangannya, menyembah.
Kakek Dawat berhenti tertawa. “Kalau mau marah janganlah marah pada kami, Kakek. Kami tak tahu apa-apa,” seseorang yang berdiri di samping si penyembah memelas.
Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>