TIMUR. Memperingati hari jadi yang ke-6, Forum Jurnalis Bontang (FJB) menggelar diskusi bertajuk “Independensi media terhadap pemerintah” di kedai kopi Titik Kumpul (TKP), Sabtu (4/6/2022) malam.
Diskusi ini menghadirkan 2 narasumber utama yakni Plt Diskominfo Bontang, Dasuki; Wakil Ketua DPRD Bontang, Agus Haris. Sementara anggota DPRD Bontang, Bakhtiar Wakkang didapuk sebagai pemantik diskusi.
Tema ini diangkat guna merefleksi kembali, apakah media di Bontang masih mampu menjaga Independensinya kendati pemasukan utama mereka berasal dari kontrak kerjasama yang bersumber dari APBD.
Fenomena ini tak dialami satu atau dua media saja, namun nyaris semua media massa yang berbasis atau menempatkan korespondennya di Bontang.
Guna memantik diskusi, Bakhtiar Wakkang sedikit mengulas perihal kondisi media massa di Bontang. Dimulai pada medio awal 2000-an hingga kini.
Menurut pria yang juga pernah menjadi jurnalis ini, secara umum perkembangan media massa di Bontang cukup baik. Ini tak lepas dari perangkat hukum yang sudah disahkan pemerintah, seperti keberadaan UU Pers dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi, Jaksa Agung, dan Kapolri tentang pedoman implementasi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Dalam diskusi kita akan ulas ini lebih jauh lagi, dan tentu terkait tema kita pada hari ini soal independensi media terhadap pemerintah,” ucapnya membuka diskusi.
Diskusi dimulai dengan pernyataan Plt Kepala Diskominfo Bontang, Dasuki, sebagai wakil Pemkot Bontang. Dia mengatakan bahwa selama ini pemerintah selalu terbuka bila dimintai keterangan. Selain itu, ia mengklaim bahwa pemerintah tak pernah alergi kritik yang media massa beritakan.
“Kami tidak masalah dengan kritik, kami juga terbuka bila media butuh data atau informasi apapun,” sebutnya.
Ditambahkan, menurutnya tak jadi soal bila media menerima pemasukan yang bersumber dari APBD. Menurutnya itu sah saja sebab publik memang perlu tahu apa yang telah dikerjakan pemerintah. Dan pemerintah mesti menyiarkan program apa saja yang telah dikerjakan.
“Ini murni business to business,” terangnya.
Namun dia mengingatkan bahwa juru warta mesti melakukan pemberitaan yang selaras dengan kode etik, dan wajib melakukan konfirmasi.
“Kalau tidak ada konfirmasi saya, bisa saya laporkan,” ucapnya.
Menanggapi itu, Ketua FJB Edwin Agustyan menekankan, jurnalis tak bisa dilaporkan ke polisi karena karya jurnalistiknya. Terlebih dilaporkan atas dasar UU ITE.
Untuk membuktikan karya jurnalistik itu sudah selaras kode etik atau tidak, mesti diselesaikan di dewan pers.
“Saya harap Diskominfo Bontang minimal tahu lah soal SKB antara kominfo, kepolisian, dan kejaksaan. Bahwa sengketa pers harus menggunakan UU Pers, bukan UU ITE ,” katanya.
Sementara Wakil Ketua DPRD Bontang Agus Haris mengatakan, sudah tidak perlu lagi mempertanyakan independensi media massa. Sebab, independensi adalah jati diri media itu sendiri. Walau menjalin kerjasama pemberitaan dengan pemerintah, atau pihak lain, itu tak berarti independensi media tergadaikan.
“Tidak perlu lah ditanya-tanya independensi media. Media yah harus independen. Kalau tidak independen berarti buka media,” tegasnya.
Dia menyebut, walau kontrak kerjasama sebagian besar media di Bontang bersumber dari APBD, itu tak serta merta membuat pemerintah dapat menyetir pemberitaan sesuai keinginan.
Kerjasama media dan pemerintah ialah menyiarkan program-program yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan. Sementara di luar itu, ketika berita kritik dimuat, pemerintah tak bisa intervensi redaksi media.
“Bila ada kerjasama pemberitaan, itu jalan. Kalau ada kritik, ya tidak bisa ditahan. Keberadaan media jelas penting buat menjaga check and balance,” ungkapnya Politikus yang biasa disapa AH itu.(*)
Follow dan Simak Berita Menarik Timur Media Lainnya di Google News >>